Berdakwah Lewat Tulisan: Proposal untuk Para Aktifis Dakwah



Mengapa perlu berdakwah dengan tulisan? Tentang keutamaannya, Drs. Syukriadi Sambas, M. Si, dekan Fakultas Dakwah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, dalam pengantar buku Berdakwah Lewat Tulisan karangan Eep Kusnawan mengatakan, “Paling tidak, ia (tulisan) hadir untuk menjawab permasalahan: dapatkah dakwah disampaikan secara secara serempak dalam waktu relatif bersamaan? Selain itu, bagaimana pula agar pesan dakwah tidak mudah lekang dan dapat dikaji ulang? Bagaimana pula agar mad’u yang tidak sempat mengikuti pengajian karena sibuk, tetap dapat menerima pesan-pesan dakwah? Disamping, bagaimana pula memberikan nuansa kesejukan pada informasi yang disampaikan berbagai medai cetak yang jumlahnya semakin bertambah? Persoalan itu akan terjawab oleh kajian dakwah melalui tulisan di media massa.” Ia melanjutkan, diantara keutamaan media tulisan antara lain, dapat menyebar dalam waktu yang bersamaan, dapat diarsipkan, dan dapat menembus sementara pihak yang tidak cukup waktu untuk menghadiri pengajian.[1]
Dakwah melalui tulisan tampaknya masih kurang diminati para aktifis dakwah. Dalam seminar sekalipun, tak jarang pembicara tidak membuat makalah. Padahal, seyogyanya makalah dalam seminar bukan lagi hal yang tabu. Ilham Kadir, peneliti LPPI Makassar bahkan mengatakan, seminar yang tidak disertai makalah tidak dapat disebut seminar.[2] Tanggapan ini ia nyatakan menyusul kesalnya pada ‘seminar nasional’ ala Syiah beberapa waktu lalu. Bertempat di gedung IPTEKS Universitas Hasanuddin. Dari empat pemateri, hanya satu orang yang membuat makalah. Itupun tanpa catatan kaki. Sehingga menurutnya, acara itu tidak layak disebut seminar.
Besarnya peluang dakwah lewat tulisan justru dimanfaatkan dengan baik oleh para aktifis liberal. Azyumardi Azra, Pimpinan pasca sarjana UIN Jakarta menulis di rubrik resonansi Harian Republika Kamis 21 Juli 2005 halaman 12 berjudul “Run Amuck dan Perbedaan Aliran”. Tulisan ini sangat menghina Islam.[3] Azra menjelaskan Run Amuck adalah kosa kata Inggris dari kata amuk atau mengamuk. Misalnya, orang-orang yang mengamuk karena kalah pilkada, gerombolan mahasiswa yang menggebuki mantan pejabat dan satpam di sebuah perguruan tinggi di Surabaya, dan juga massa yang membawa pentungan bambu mengepung kompleks Ahmadiyah di Parung. Azra mensejajarkan kelompok Islam yang ber-nahi munkar dengan kelompok yang benar-benar mengamuk tanpa alasan yang benar. Ia ingin mengesankan, bahwa tindakan amar ma’ruf nahi munkar terhadap Ahmadiyah di Parung sama hinanya dengan amukan para pecundang pilkada dan mahasiswa bejat itu.
Kroni Azra, Luthfi Asy-Syakanie dosen Paramadina Jakarta menulis artikel Merenungkan Sejarah Al-Qur’an. Dimuat di situs islamlib.com tanggal 17 November 2003. Lalu ia melanjutkan dengan tulisan Sejarah Al-Qur’an Rejoinder sebagai pembelaan atas tulisannya sebelumnya.
Di Makassar, sosok liberal yang tak kalah aktif menulis misalnya Taufik Adnan Amal. Dosen UIN Alauddin Makassar. Ia pernah menulis artikel dengan tajuk Al-Qur’an Edisi Kritis. Dimuat di situs islamlib.com pada 28 Oktober 2001 dan di buku tentang JIL. Satu bulan berikutnya ia menulis Al-Qur’an antara Fakta dan Fiksi . Belum puas dengan sekedar artikel ia menulis buku Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an. Diterbitkan oleh Forum Kajian Budaya dan Agama Yogyakarta pada tahun 2001.
Melalui serial tulisannya, Taufik bermaksud menghujat otentisitas Al-Qur’an. Menurutnya Al-Qur’an telah mengalami tahrif (perubahan).  Sebuah majalah yang getol menyuarakan liberalisme, Majalah Syir’ah Vol 2 No 3, tanggal 25 Januari – 25 Februari 2002 menurunkan laporan “Pembaruan Al-Qur’an ala Indonesia”. Dalam laporan itu dikutip pendapat Taufik Adnan Amal. Diantaranya sebagai berikut:
“Berdasarkan temuan kontemporer yang diangkat beberapa pemikir terkemuka Timur Tengah, terdapat salah satu ayat yang tidak berbunyi ‘innad dina ‘indallah al-Islam’, tetapi ‘innad dina ‘inda Allah al-hanafiyyah’. Pada versi pertama, kata Islam kan dimaknai sebagai bersifat antropologis atau sekedar Kartu Tanda Beragama (KTB) yang dari sini muncul klaim bahkan menyalahkan agama yang lain ataupun berbuntut kebencian dan pertikaian antar agama. Yang kedua, kata al-hanafiyyah yang berarti sikap kepatuhan dan kepasrahan lebih menunjukkan wajah Islam yang toleran dan damai. Dan ini sangat kontekstual dengan kondisi masyarakat kita saat ini, ungkapnya.”
Klaim tahrif (perubahan) terhadap Al-Qur’an ala Taufik dibantah oleh Ustadz Hartono Ahmad Jaiz.[4] Diantaranya, Taufik salah kaprah terhadap kata al-hanafiyyah. Kata ini merujuk pada pengikut mazhab Imam Hanafi. Jika ia berkilah, misal dengan mengatakan itu salah cetak dan yang benar adalah al-haniifiyyah, maka ia tetap diperhadapkan pada pilihan yang sulit. Pertama, ‘salah cetak’ itu terjadi berulang-ulang. Kedua, dalam masalah krusial seperti ini ternyata seorang dosen Ulumuddin di kampus terkenal sekaliber UIN Alauddin Makassar melakukan kesalahan fatal. Terkait aqidah dan perubahan terhadap kitab suci agamanya sendiri. Malangnya, kata yang lebih tepat untuk ‘sikap kepatuhan dan kepasrahan’  justru ‘Islam’. Sesuai yang telah tetap dalam Al-Qur’an selama berabad-abad. Berakar dari kata aslama yuslimu islaman.
Sosok lain misalnya Moqsith Ghazali. Manusia yang sering hadir dengan tulisannya yang tidak ilmiah. Namun terkesan hebat karena tampil di koran Tempo, besutan sahabatnya yang juga liberal, Goenawan Muhammad.
Tempo edisi 2 Januari 2006 menampilkan tulisan Moqsith yang membela komunitas sesat Lia Eden. Judulnya tendensius, “Kriminalisasi Komunitas Eden”. Dari judulnya mudah ditebak, Moqsith ingin memprovokasi sekaligus memojokkan kaum Muslimin yang ber-nahi munkar (mencegah kemungkaran, memberantas). Ia menulis kolom seperti menulis fiksi. Ia tak hadir di tempat saat aparat kepolisian-disaksikan oleh sejumlah tokoh ormas Islam-menindak tegas kelompok Lia Eden. Ia menuduh komunitas eden di kepung oleh sebagian warga. Padahal Geys Chalifa yang bermukim di jalan Mahoni, Senen, Jakarta Pusat, tak jauh dari komunitas sesat itu, melaporkan tak ada pengepungan. Moqsith berbohong. Dan kebohongan itu difasilitasi koran Tempo, pendukung aliran sesat Ahmadiyah, anti RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, dan pendukung sms (sastra mazhab selangkang) sebagaimana disindir Taufik Ismail.[5]
Pemikiran manusia-manusia semacam Prof. Dr. Azyumardi Azra, Luthfi Syaukanie, Taufik Adnan Amal, dan Moqsith Ghazali, dijiplak rekan-rekan mahasiswa di kampus-kampus. Di Fakultas Ekonomi Unhas misalnya, dalam prosesi penerimaan mahasiswa baru angkatan 2010, kami dibagi dalam beberapa kelompok. Kami harus menamatkan materi pengkaderan yang telah diagendakan panitia PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru) tingkat senat fakultas. Setiap materi dibawakan oleh satu orang senior berbeda.
Salah satu materi yang hendak dijejalkan kepada kami di sela-sela diskusi adalah pluralisme agama. Lagu lama John Hick yang hendak ia dendangkan kembali. Yakni paham bahwa semua agama sama. Tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain. Semua agama hakikatnya menuju Tuhan yang sama. Hanya cara beribadahnya saja berbeda. Karena itu tidak boleh ada klaim ‘benar sendiri’ (truth claim) dari masing-masing agama. Menurut mereka, manusia harus memiliki cara pandang inklusif terhadap agama-agama, tidak boleh eksklusif. Padahal telah tetap dalam Al-Qur’an bahwa, “Sesungguhnya agama yang diridahi di sisi Allah hanyalah Islam” (QS.3:19) dan “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima agama itu dan di akhrat nanti ia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS.3:85). Lebih dari itu, Al-Qur’an juga telah mengkafirkan orang-orang ahli kitab dan orang musyrik yang tidak mau beriman.
Allah ta’ala berfirman,”Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik akan masuk masuk ke neraka Jahannam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itu seburuk-buruk makhluk.” (QS.98:6)
Secara eksplisit Allah berfirman,”Sungguh telah kafirlah orang-orang yang mengatakan,’Sesungguhnya Allah dialah Isa bin Maryam’…” (QS.5:82). Dalam ayat selanjutnya Allah berfirman,”Sungguh telah kafirlah orang-orang yang mengatakan Allah itu satu dari yang tiga…”. Allah bahkan berfirman kepada ‘Isa bin Maryam ‘alaihi salam,”Dan ingatlah ketika Allah berfirman kepada ‘Isa, ‘Wahai ‘Isa, apakah kamu yang mengatakan jadikanlah aku dan ibuku sebagai Tuhan selain Allah?” Nabi ‘Isa menjawab,”Maha Suci Engkau. Tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jikalau aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya…”(QS.5:116)
Lebih dari sekedar menganggap semua agama sama, ia bahkan mengaku tidak beragama. Katanya, agama meniscayakan identitas. Beda agama maka identitas pun akan berbeda. Perbedaan identitas menurutnya meniscayakan konflik. Itulah sebabnya, tambahnya, kita melihat konflik/tawuran ‘sospol’ dengan ‘teknik’ karena perbedaan identitas. Masing-masing ingin mempertahankan eksistensinya. Bahwa dialah yang terbaik dan terkuat.
Bertentangan dengan pendapatnya sendiri, ia membenarkan adanya pluralitas. Termasuk agama-agama yang beragam. Jika demikian, dengan logika yang sama, sesungguhnya ia sedang menggunting lidahnya sendiri. Ia mengaku tidak beragama dan tidak perlu beragama. Namun ia memaksa kami tidak ‘merasa benar sendiri’ dengan agama kami. Artinya, ia sesungguhnya mengakui agama kami, meski ia menganjurkan tak perlu beragama. Ia juga sedang tidak menyadari bahwa ia sedang ‘merasa benar sendiri’ akan anjurannya bahwa kami tidak boleh ‘merasa benar sendiri’.
Bertuhan tanpa beragama, menurutnya akan menciptakan keharmonisan sejati dalam hidup manusia. Senada dengan Musadiq Marhaban,[6] ia mengklaim manusia dapat ‘sampai’ kepada Tuhan tanpa harus dengan agama. Sebagaimana Aristoteles ‘mencapai’ tuhan hanya dengan filsafatnya. Jika klaim ini mereka amalkan, konsekuensinya, ia harus membuat ciri-ciri tuhan sendiri, cara menyembah tuhannya sendiri, cara berdo’a kepada tuhannya juga khusus untuk mereka sendiri. Masing-masing individu akan mendeskripsikan sendiri tuhannya dan cara beribadah kepada tuhan ‘buatan’ itu. Orang-orang seperti ini tentu saja mengharamkan dirinya menjiplak ciri-ciri tuhan dari agama-agama. Tentu saja, sebab bagi mereka agama merupakan identitas yang meniscayakan konflik. Padahal, dengan keyakinan seperti itu (bertuhan tanpa beragama), mereka sedang membuat tuhan dan menambah daftar agama-agama baru (identitas-identitas baru) yang mereka anggap meniscayakan konflik. Absurd!
Bagi seorang Muslim, mengenal Allah dan beribadah kepada Allah harus dengan tuntunan Agama. Allah memperkenalkan diriNya dalam Al-Qur’an. Kitab yang diturunkan kepada NabiNya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan agamaNya disebut Islam. Allah berfirman,”Sesungguhnya Akulah Allah, tidak ada tuhan yang hak disembah selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu.”
Semua ide absurd, meski telah dibantah para pemikir Islam, tetap saja dipasarkan di kalangan mahasiswa. Terutama mahasiswa baru. Tak sulit menemukan mereka yang senantiasa membela Ahmadiyah meski telah sangat jelas kesesatannya. Mereka juga mendukung penuh Irshad Manji, Lady Gaga, bersama senior mereka dari kalangan orang-orang nyentrik dan jorok semacam Rieke Dyah Pitaloka dan Prof.Dr. Musdah (tidak) Mulia yang menolak RUU APP menghalalkan homoseks dan lesbianisme. Dan sosok lain yang tergabung dalam AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan). Mereka, rekan-rekan mahasiswa ini, berada di garda belakang, mengikuti jejak para pendahulu mereka dalam membela kemungkaran. Sebaliknya, meski mengaku Islam, tak pernah sekalipun kami mendengar mereka melakukan pembelaan kepada seorang wanita Muslimah yang harus menanggalkan jilbabnya jika hendak menjadi office girl. Pembelaan mereka terhadap saudara Muslim yang terjajah dan dibantai di Somalia, Suriah, Myanmar, Iraq, Afghanistan, dan Palestina, juga tak pernah terdengar.
Demikianlah, kesesatan demi kesesatan dijejalkan kepada generasi muda Islam.
***
Setelah menyusun serial makalah Islam dan Al-Qur’an pun Diserang, Ustadz Hartono Ahmad Jaiz menyimpulkan betapa pentingnya kaum Muslimin berdakwah lewat tulisan[7]. Beliau menyebutkan 12 sebab mengapa para da’I perlu berdakwah dengan tulisan.
Pertama, Para ulama telah memberi contoh. Betapa gigihnya mereka menghadapi para penyesat.
Kedua, Para penyesat ada yang terpukul mundur sampai tak muncul selama 1000 tahun setelah dijelaskan kekeliruannya oleh para ulama dan dikaji secara turun-temurun.
Ketiga, Muncul gerakan penyesat yang beramai-ramai menghujat Al-Qur’an dengan aneka tulisan dan aneka sarana
Keempat, Tulisan mereka sangat jauh dari kadar ilmiah. Meski ditulis oleh manusia-manusia bergelar Profesor Doktor dalam bidang agama.
Kelima, Tulisan para penyesat itu tidak sulit dibantah. Meski saling mendukung satu sama lain ibarat sarang laba-laba. Hilang hanya dengan sekali sapu, tetapi kalau dibiarkan maka umat akan terseret.
Keenam, Keberanian mereka menulis harus diimbangi dengan keberanian membantah. Jika tidak, maka kesesatan akan merajalela.
Ketujuh, Penulis-penulis yang membantah para penyesat, kebanyakan tidak memiliki latar belakang keilmuan yang kuat tentang turats Islam. Dikhawatirkan hanya akan banyak bermain logika sehingga memunculkan kesesatan yang serupa.
Kedelapan, Ada pihak yang menganggap bahwa pergulatan antar orang liberal dengan anti liberal hanyalah pergulatan antar wartawan semata. Sehingga memerlukan da’I yang menguasai bidangnya untuk menulis bantahan buat mereka
Kesembilan, Bila kondisi ini (penyesatan dengan tulisan) terus berlanjut, maka akan menimbulkan keadaan yang tidak baik. Sebagaimana dalam hadist:
“Sesungguhnya diantara tanda-tanda kiamat itu ada tiga: salah satunya kalau ilmu dicari dari al-ashaghir (ahli bid’ah, atau orang yang kurang ilmunya tapi bicara masalah besar)” HR. At-Thabrani, dishahihkan oleh Al-Albani.
Kesepuluh, Dakwah dengan tulisan untuk membantah paham sesat sangat diperlukan, insya Allah efektif dan dapat dilakukan. Baik perorangan atau lembaga. Misal dengan gigihnya Jamal Al-Banna (Mesir) dan Quraish Shihab (Indonesia) meremehkan hukum pakaian Muslimah. Jika dalam satu bulan dapat dihasilkan satu tulisan yang membantah buku-buku para penyesat, maka dalam satu tahun sudah 12 buku yang berhasil dibantah.  Khususnya terhadap buku-buku yang banyak beredar di kampus.
Kesebelas, Bagi yang mampu menerjemah, maka kitab-kitab rudud (bantahan) dari para penerjemah dapat diterjemahkan.
Kedua belas, Semua itu perlu dilakukan agar dakwah dengan tulisan diisi oleh ahlinya. Yang paham Islam dan sesuai dengan manhaj yang benar.[8]

Dalam lingkungan kampus, rekan-rekan mahasiswa dapat menulis artikel ringan. Sesuai kemampuan dan tingkat pemahaman mahasiswa. Menunjukkan penyimpangan pemikiran sesat seperti sekulerisme, pluralisme agama, liberalisme, dan syiah (penghimpun semua kesesatan). Pada saat yang sama, da’I perlu memperbanyak tulisan tentang keindahan Islam. Misalnya konsep Islam dalam toleransi, kebebasan beragama, perlindungan Islam terhadap wanita, dan lain-lain. Da’I juga perlu menampilkan sejarah kejayaan dan proses tersebarnya Islam serta sejarah kekejian dan proses tersebarnya agama mayoritas di Barat. Semoga dengan jalan itu manusia terbuka pikirannya. Hingga mereka melihat bahwa manhaj Islam-lah yang lebih unggul dalam segala bidang. Sedang pemikiran yang selama ini mereka usung melalui buku-buku dari pemikir Barat, keindahannya hanyalah ilusi belaka.
Tulisan ini dapat kita sebar dalam bentuk jurnal bulanan atau buletin pekanan. Jika minimal 10 da’I aktif menulis satu artikel dalam satu pekan, atau satu makalah dalam satu bulan, insya Allah jurnal, bulletin, atau majalah bukanlah hal yang sulit untuk kita terbitkan. Bi quwwatillahi ta’ala laisa bi quwwatina.
Sebagai penutup, seorang Muslim patut merenung dan benar-benar mengaplikasikan sifat yang dianugerahkan Allah kepada mereka. Allah ta’ala berfirman:
“Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan dari umat manusia. Kalian mengajak kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar dan kalian beriman kepada Allah…” (QS.3:110)
Wallahu a’lam bish shawab
Makassar, 1 Ramadhan 1433



[1] Syukriadi Sambas. Pengantar untuk buku Berdakwah Lewat Tulisan. Mujahid press. Shafar 1425
[2] Lihat Kepemimpinan dalam Perspektif Syi’ah dan Hindu. Lppimakassar.blogspot.com
[3] Hartono Ahmad Jaiz, Islam dan Al-Qur’an pun diserang. Halaman 209
[4] Hartono Ahmad Jaiz, Islam dan Al-Qur’an pun Diserang. Halaman 53-58
[5] Lihat Duh Cerobohnya Orang AKKBB pada sub Judul Goenawan Muhammad, nahimunkar.com
[6] Penulis buku Judas Bukan Pengkhianat
[7] Hartono Ahmad Jaiz, Islam dan Al-Qur’an pun Diserang. 1430. Pustaka Nahi Munkar. Hal. 82-84
[8] Teks dalam 12 poin ini telah mengalami pengubahan dari penulis.


Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Al-Ghuraba Official Site - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger