Muak Dengan Formalitas

Sepertinya, kemodernan telah membuat formalisasi. Termasuk dalam memperoleh ilmu. Setelah orang berada pada puncak kesuksesannya, dan menduduki posisi dalam suatu jabatan strategis tertentu, justru mereka hanya menjadikannya sebagai sarana dalam menikmati hidup.
Bagi mereka, itu adalah hasil jerih payah yang harus untuk dinikmati. Menurut mereka, dalam fase tertentu, mereka harus berjuang. Dan akan datang suatu masa di mana mereka akan mendapatkan hasil dari jerih payahnya itu. Akhirnya setelah ia sampai pada posisi tertentu, ia malah seperti menjadi hilang tujuan. Semua menjadi kesempatan untuk dinikmati dan dirayakan. Maka dibuatlah acara-acara formal, dari tingkat yang paling rendah sampai tingkat yang paling tinggi. Pertemuan itu seakan-akan menjadi begitu  sakral. Semua harus berpakaian resmi, lengkap dengan jas dan mengenakan fasilitas mewah. Yang datang dengan fasilitas murahan sepertinya minder dan merasa rendah. Sekalipun mungkin ilmunya lebih tinggi. Para pemimpin bukan lagi menjadi pekerja dan pejuang kebaikan bagi rakyat atau masyarakat yang dipimpinnya. Akan tetapi, jabatan baginya adalah kekuasaan dan kedigjayaan. Karena demikian mereka akan memiliki ketenaran dan popularitas. Demikian halnya kekayaan.
Ilmi bukan lagi menjadi kebanggaan. Yang berilmu, jika tidak punya kedudukan atau posisi, tidak akan dianggap kata-katanya. Kalimatnya sepertinya ringan di telinga para pendengar. Adapun pejabat, mereka justru dihormati. Digelari karpet merah, berkalung dan bertabur bunga dengan kedatangannya. Momentum seperti itu sangat sarat dengan penampilan yang dibuat-buat. Dan itulah yang menjadi bagian dari formalitas zaman ini.
Ya, zaman ini saya sebut sebagai zaman formalitas. Zaman di mana orang berdasi dan berjas dianggap lebih pantas untuk dihormati dibanding seorang bersurban dan berpakaian kusut masai. Sekali lagi, meskipun ia lebih berilmu. Itu semua tidak lain karena ilmu bukan lagi menjadi sumber kemuliaan. Mengapa ?. Karena sebagian besar manusia adalah  makhluq yang jahil. Jahil agama dan ilmu dunia. Yang dinilai adalah ketenaran, dan seberapa banyak anda diminati oleh masyarakat. Seberapa banyak anda tampil di media. Persoalan ilmu itu belakangan. Yang penting anda tampil dengan banyak gelar, meskipun itu diperoleh dengan sejumlah uang untuk membayar makalah, atau buku ajar untuk dipelajari sendiri. Sarjana, tidak perlu lama cukup 1 tahun. Jangankan satu tahun, tiga hari pun jadi. Yang penting tinggal siapkan uang pengganti percetakan ijazah yang tidak masuk akal harganya, 10-20 juta. Demikianlah jika ilmu sekarang sudah dikomersialkan. Yang penting sudah bergelar, urusan ‘isi’ nati belakangan.
Sayang. Ini memang patut untuk kita sayangkan. Sebenarnya kita harus sedih, karena tantangan zaman yang semakin keras, akan tetapi bekal ilmu tidak menjadi prioritas. Ancaman degradasi akhlaq dan pergeseran nilai semakin besar, namun semangat menuntut ilmu masih dalam angan–angan. Budaya ilmiah tidak dipegang teguh oleh para intelektual. Orang-orang bergerak karena dorongan ekonomi. Itu pun tidak didasari dengan prinsip-prinsip ilmu muamalah[1]. Sebuah program yang seharusnya menjadi pengarah masyarakat, justru disikapi sebagai peluang dalam mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Perusahaan jasa komunikasi dan pengelola informasi yang seharusnya membangun prinsip objektif dalam mengelola berita, justru menjadikan ‘kebebasan finansial’ pemilik modal menjadi prioritas utama. Dan tidak lain, karena merebaknya materialisme.
Aku muak dengan formalitas. Perayaan-perayaan yang tidak berguna. Menghabiskan waktu, biaya energi dan menyedot pikiran dalam energi besar, namun hasilnya hanya beberapa saat terasa. Formalitas upacara, rapat, dan peringatan-peringatan apa pun yang tidak berlandaskan pada kaidah ilmiah ilmu dan agama.
Karena memang yang orang cintai sekarang adalah formalitas. Yang lebih dinikmati, dan disukai hanya kulit, merek, brand, dan pack atau kemasan dan bungkus. Bukan isi. Lihatlah produk-produk industry sekarang.  Desain kemasan begitu menarik, sayang isinya ringan. Bentuknya mungkin besar, tetapi besar karena mengembang. Tidak berbobot.
Untuk itu, sekaranglah saatnya menjadikan patron ilmu sebagai standar kebaikan. Standar kemuliaan dan penghargaan seseorang seharusnya dari ilmu yang dimilikinya. Seseorang seharusnya dinilai, bukan dari apa yang dikatakan, tapi apa yang ia perbuat. Seseorang dihargai karena berkah ilmu yang dimilikinya. Seseorang dimuliakan karena wara’, dan rasa takut mereka yang besar kepada Allah azza wajalla. Bukan karena jabatan dan kedudukannya. Kalau dengan kedudukan, maka setelah pemimpin kita turun jabatan, ia tak lagi pantas dihargai.
Oleh sebab itu, saatnya budaya ilmiah digulirkan. sudut-sudut kampus dipenuh-sesaki kajian. Saatnya penjuru-penjuru sekolah sibuk dengan diskusi dan gema pengetahuan. Karena masyarakat akan kokoh karakternya hanya dengan ‘kegilaan’ mereka terhadap ilmu. Waktu, pikiran, tenaga dan biaya seluruhnya habis untuk ilmu. Sahabat Nabi shallahu alaihi wasallam, Ibnu Abbas mengatakan : “Dahulu kami menuntut ilmu dalam keadaan hina, namun setelah kami berilmu, allah memuliakan kami dengannya”.
Itulah sebabnya tiket penyanyi terkenal laris-manis sampai 50-an ribu dengan harga melangit, sementara kedatangannya masih berjarak 1 bulan. Adapun kedatangan seorang ustadz, syaikh atau seorang ilmuwan sepi pengunjung, dari ta’lim, orasi ilmiah dan seminar-seminar mereka. Kalaupun ada yang datang, hanya untuk menginginkan sertifikatnya. Wallahu al musta’an.
Saatnya sudut-sudut ruang kelas digemakan teriakan idealisme keilmuan, bukan teriakan yang sarat doktrin yang menjajah pikiran. Karena ‘aktivisme’[2] dibangun di atas tradisi ilmiah. Saatnya mimbar-mimbar ilmiah menggemakan suara dan ajakan untuk mengkaji agama dan ilmu pengetahuan dari orang-orang yang kapabel. Dari orang-orang yang terlihat keberkahan ilmu pada dirinya. Bukan dengan titel yang panjang namun tidak punya produktivitas. Tidak berkontribusi bagi masyarakat karena sibuk dengan proyek formalitas.
Akan tetapi, mungkin malam ini, kita masih mendengarkan alunan-alunan musik remeh dan membuat mental-mental kita menjadi pengecut, ciut tak bernyali. Tidur dan terbuai dengan petikan-petikan gitar dari penyanyi-penyanyi bermoral buruk, dan diikut-ikuti. Tapi dengan gerakan cinta ilmu, suatu saat kita akan melihat, konser-konser musik tak lagi ramai. Karena yang ramai adalah majelis-majelis ilmu, sampai berdesa-desak lutut di dalamnya. Hanya saja semua butuh perjuangan. Semua butuh pengorbanan.
Jeneponto, 29 Mei 2012

Oleh:
Samsuar Hamka
(Alumni Universitas Negeri Makassar)
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Al-Ghuraba Official Site - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger