Sebuah Seruan: Berhujjah dengan Pena Sunnah

Tanggal dua puluh dua bulan Sya’ban seribu empat ratus tiga puluh tiga. Atau tanggal sebelas Juli bagi yang menggunakan tanggal miladiyah
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu,
Segala puji bagi Allah ta’ala yang telah menciptakan hambaNya dengan sebaik-baik bentuk. Memberinya potensi dan bakat yang kelak berguna bagi Islam dan kaum Muslimin. Demi mengharumkan Islam yang memang semerbak. M...enyibak noktah hitam yang melingkupi umat. Menghempas segala bendungan kejahilan di depan mata orang-orang awam.
Salam dan salawat ke Nabi dan Rasul Allah, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kepada keluarga beliau, sahabat-sahabat beliau, dan kepada siapa saja yang senantiasa istiqamah di atas sunnah hingga akhir dunia ini.
Saudara Muslim dan Muslimah yang dimuliakan Allah dengan Islam. Semoga antum senantiasa dalam lindungan Allah ta’ala. Besar harapan kami semoga antum berkenan membaca surat ini hingga titik terakhir.
Beberapa pekan terakhir kami sangat resah. Dan tampaknya juga demikian bagi saudara-saudaramu pejuang lainnya. Gempuran fitnah datang dari berbagai arah. Ia laksana angin. Menghimpit dari kiri dan kanan, mendorong dari belakang dan bawah, menimpa dari atas, dan menerjang dari depan. Segala sisi, Islam dan kaum Muslimin diuji.
Orang-orang liberal berani unjuk gigi. Mereka mengiklankan kesesatan “pluralisme agama” dimana-mana. Seminar-seminar diselenggarakan, diskusi-diskusi digelar, dan buku-buku diterbitkan. Semua untuk menyebarkan paham pluralisme agama. Malangnya, ide-ide ini berkembang pesat di kampus-kampus. Yang notabene dihuni umat Islam. Dan tampaknya, sasaran utama liberalisasi ini memang umat Islam.
Bulan Ramadhan lalu sebuah forum demokrasi di kampus mengadakan diskusi. Tampil sebagai pembicara Prof. Qasim Mathar dan Pak Aswar Hasan. Kami tak banyak mempersoalkan pak Aswar, sebab dalam pengetahuan kami, beliau anggota Dewan Dakwah Islamiyah. Belum pernah kami dengar argumennya yang nyeleneh dan merendahkan Islam. Berbeda dengan Pak Aswar, Qasim Mathar mulai dari penampilan dan gelagat sama sekali tak mencerminkan kebaikan bagi manusia, khususnya kaum Muslimin.
Dalam pengantarnya, ia mengatakan semua pendapat harus diterima. Dipandang sama rata. Bahwa semua benar. Tidak ada yang salah. Tidak boleh seorang Muslim menuduh pendapat yang berseberangan dengan pendapatnya salah. Sebab katanya semua orang berhak berbicara. Lagi pula, tegasnya, kebenaran sesuatu kebanyakan tidak dinilai dari hakikat benar itu sendiri. Dengan kata lain, boleh jadi sesuatu dianggap benar padahal sesungguhnya keliru. Semua, katanya, tergantung siapa yang berkuasa saat itu.
Di Iran, lanjutnya, yang dianggap benar adalah aqidah Syiah Itsna ‘asyariyah. Sebab yang berkuasa adalah rezim syiah. Di Indonesia, yang dianggap benar adalah paham ahlussunnah wal jamaah. Sebab yang berkuasa adalah MUI dan pemerintah yang berpaham ahlus sunnah. jadi menurutnya, kebenaran itu tergantung pada siapa yang berkuasa. Sehingga jika ada kelompok tertentu yang mengklaim dirinya benar sedang yang lain salah, maka tuduhan itu mungkin bisa saja ia lontarkan, tetapi apakah ia benar-benar salah atau tidak, tergantung pada persepsi masing-masing. Yang penting, katanya, tidak boleh ada saling menyalahkan dan menyudutkan satu sama lain.
Pandangan Qasim Mathar sangat bertentangan dengan ungkapannya dalam banyak tulisannya sendiri. Suatu ketika, sebelum mengenal sosok liberal ini, kami membaca tulisannya di kolom koran harian Fajar. Mohon maaf kami lupa hari dan tanggalnya. Dalam tulisan singkat itu ia menegaskan, umat Islam di Indonesia belum mampu toleran. Masih banyak diantara umat Islam yang terlalu banyak menyalahkan yang lain. Kelompok yang berseberangan dengannya. Padahal, tanpa ia sadari, ia telah ‘menyalahkan’ kelompok yang bersebarangan dengannya. Ini paradoks. Pada saat ia mengatakan tidak boleh ‘menyalahkan’, saat itu pula ia sedang menyalahkan. Menyalahkan umat islam yang konsisten dengan agamanya. Menolak semua ajaran menyimpang yang mengaku Islam.
Merebaknya ide liberalisme seperti ini dimanfaatkan dengan baik orang-orang Syiah. Syiah yang berdiri di atas landasan aqidah yang rapuh melihat momentum ini sebagai lompatan besar dalam penyebaran keyakinannya. Orang-orang yang telah terjangkiti virus liberalisme, akan menerima semua ajaran. Kecuali Islam yang benar. Itulah sebabnya, kita melihat orang-orang yang paling getol mempertahankan Jalaluddin Rakhmat bercokol di UIN diantaranya ialahQasim Mathar.
Sebelum menyebarkan paham syiah yang sesungguhnya, kami melihat para aktivis mereka terlebih dahulu membuka kran pikiran anak-anak muda dengan liberalisme. Orang-orang yang tahap awal mengikuti diskusi dan membenarkan ide mereka akan berkata,”Kami membenarkan Al-Qur’an. Dan ia adalah kitab suci. Tetapi kita juga tidak boleh menolak konsep Aristoteles.” Mungkin ia lupa, Imam Asy-Syafii telah mengingatkan, “Orang–orang menjadi bodoh, buta agama, dan sering berselisih paham, karena mereka meninggalkan bahasa Arab dan lebih mengutamakan konsep Aristoteles.” Ia juga sangat awam akan pertentangan pendapat dikalangan filsuf sendiri. Bahkan satu pendapat dengan pendapat lain pada satu orang filsuf tak jarang bertabrakan.
Suatu malam, teman kita dari jurusan # berkunjung ke kamar kami. Kami tak menduga kalau kepalanya sudah dicekoki pemikiran liberal dan syiah sekaligus. Tapi belum parah. Ketika menyebutkan keburukan syiah, ia menimpali,”Kalau saya pelajari keduanya. Kan kita tidak tahu apakah benar atau salah sebelum mempelajari keduanya. Makanya kami juga belajar Syiah”. Ya kamu belajar syiah, tapi dengan teman dan manhaj (jalan) yang salah.
Sekarang ia telah menjadi aktivis syiah dan liberal sekaligus. Ia mengajak teman-teman secara sembunyi-sembunyi ke rumah kontrakannya. Suatu hari ketika sedang duduk di gazebo, berkat bekal insting yang cukup tinggi terhadap segala tindak kejahatan, alhamdulillah kami dapat menebak ia sedang mengumpulkan adik-adik 2011 untuk ‘diskusi’ di rumahnya itu.
Teman kita ini telah banyak mengkhatamkan buku-buku syiah. Menurut laporan teman satu rumahnya, ia telah khatam ensiklopedi syiah. Dan ia membenarkan semua isinya. Pengakuannya bahwa ia belajar ‘keduanya’ ̶ syiah dan sunni – tidak terbukti. Ia sama sekali tidak pernah bertanya pada ustadz tentang sunni. Tidak pernah berusaha memperbaiki bacaan Qur’annya. Sehariannya dilingkupi pertamanan dengan senior yang telah terjangkit syiah. Maka jadilah ia syiah. Entah secara aqidah. Namun pemikirannya jelas menunjukkan ia cenderung ke syiah. Dan tak jarang seseorang meyakini sesuatu karena pemikirannya.
Kita tinggalkan teman ini.
Belum lama kami mengikuti seminar nasional syiah di gedung IPTEKS. Temanya “Kepemimpinan dalam Perspektif Agama dan Budaya”. Tampil sebagai pembicara Muhammad Rusli Malik (rafidhah), Musadiq Marhaban (Rafidhah), Prof. Rahimpour (Rafidhah dari Iran), dan Dr. Arya (Hindu dari Bali). Acara ini sesungguhnya tak layak disebut seminar. Apalagi seminar nasional. Para pembicara tak menyediakan makalah. Kecuali Musadiq Marhaban yang membuat makalah tanpa catatan kaki. Prof. Rahimpour membawa materi seolah ia memberi kuliah umum.
Cukup dengan seminar itu, sangat mudah ditebak bahwa penganut syiah di Indonesia dan Makassar dan sekitarnya pada khususnya sudah sangat banyak. mereka ada di sekitar kita. pakaiannya sama dengan pakaian kita. Jilbabnya sama dengan jilbab wanita Muslimah. Yang menarik perhatian kami, sebab diantara peserta wanita ada beberapa gadis belia yang nampaknya lugu. Style mereka, gaya mereka berbicara, caranya mengambil kursi duduk, gerak-gerik mereka, menunjukkan mereka asing dengan tempat-tempat sejenis IPTEKS. Ini setidaknya menunjukkan, betapa mudahnya mereka ditipu syiah. Dan bukan mustahil, sebentar lagi kehormatan mereka tergadai atas nama amalan mulia ala syiah, nikah mut’ah.
Semua peserta yang pro kegiatan itu tampak tidak siap menerima materi. Tidak satupun diantara mereka yang menunjukkan kewibawaan seorang yang berilmu. Mereka tidak siap mendapat kajian yang bertentangan dengan aqidah mereka sebelumnya. Karena gaya bicara yang seolah intelek, makalah yang tampak ilmiah, dan buku-buku yang bersampul indah, mereka tertarik dan benar-benar menjadi pendukung syiah.
Inilah poinnya. Mereka tidak berilmu sehingga mudah ditipu.
Saudara Muslim yang dimuliakan Allah,
Alhamdulillah, hari Senin lalu saudaramu seiman bersama rekan seperjuangan membentuk komunitas penulis Al-Ghuraba. Motto: Berhujjah dengan Pena Sunnah. Kita ingin mendobrak semua paham menyimpang. Tulisan kita sudah harus menyebar di kampus. Dibaca dan dikaji rekan-rekan mahasiswa. Menjadi bahan perbincangan mereka. Menghiasi kumpulan artikel mereka. Dan menjadi buah bibir di kalangan orang-orang yang benci dengan dakwah sunnah. Kami yakin, saudara-saudara kita kaum Muslimin, sebejat apapun mereka, di dalam hatinya masih tersimpan aqidah yang murni ahlussunnah wal jamaah. Ya, ketika mereka baru tiba dari kampung. baru pertama menginjakkan kaki di kampus. Sebelum mereka bertemu senior.
Tulisan kita sudah harus menjadi konsumsi mereka. Ini juga menunjukkan eksistensi dakwah salaf. Bahwa kita tidak diam. Kita cegah mereka meyakini pluralisme, liberalisme, dan multikulturalisme. Paham-paham sesat. Laksana virus HIV yang membuka jalan masuk bagi semua penyakit. Pada saat yang sama, tulisan kita harus dapat mengangkat citra Islam. Islam yang indah kita sampaikan dengan argumen yang indah. Argumen yang mematahkan argumen lawan dan membuat lidahnya kelu. Ustadz Dr.Adian Husaini dalam novelnya, Kemi: Cinta Kebebasan yang Tersesat, mengatakan, semua argumen mereka berdiri di atas pondasi yang lemah. Sedangkan Islam kita, kata seorang orientalis Jerman, berdiri di atas basis ideologi yang kuat.
Dengan tulisan dan kajian-kajian, kita berharap dapat menelanjangi pemikiran mereka. Dengan argumen mereka sendiri. Insya Allah, kami yakin, dengan pertolongan Allah, kita dapat melakukannya. Sebagaimana Allah telah menolong hambaNya Ibnu Taimiyah rahimahullah membantah filsafat kafir dan Syiah rafidhah.
Kita mulai dengan ilmu. Kita mulai dengan rekan yang baik. Kita mulai dengan kajian-kajian, diskusi, dan buku-buku tauhid. Kami yakin, minimal dengan mendalami materi tarbiyah seperti tauhid, makna dua kalimat syahadat, tiga landasan utama (mengenal Allah, mengenal Rasulullah, mengenal Dinul Islam) kita sudah dapat membantah pemikiran menyimpang itu. ditambah buku-buku dan artikel tentang liberalisme. Misalnya di situs insistnet.com. dan beberapa buku ringan.
Saudara Muslim dan Muslimah yang dimuliakan Allah,
Besar harapan kami semoga kami mendengar jawaban menggembirakan. Semoga tidak memberatkanmu. Kebaikan memang butuh perjuangan. Maka lihatlah di jalan mana dan dengan siapa engkau berjuang. Pertarungan ini bukanlah karena politik dan sosial budaya. “Pertarungan ini antara iman dan kufur. Genderang perang telah ditabuh. Maka pilihlah barisanmu.” (nasehat mujahidin)
Salam tanzhim,
penaghuraba@gmail.com
alghuraba-online.blogspot.com
+6289 915 444 96 (W. Ong)
Wa shallallahu wa sallam ‘ala Muhammad wa ‘ala alihi wa ashhabihi ajmaiin [titik terakhir]

Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Al-Ghuraba Official Site - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger